Kendal – Madrasah Budaya Pungkuran, Kaliwungu, menjadi tempat berlangsungnya kegiatan Sinau Rutin Gus Muis pada Ahad malam, 17 Agustus 2025. Acara bertema “Ngaji Indonesia” itu menghadirkan dua narasumber, yakni Gus H Abdul Muis, Pengasuh Pondok Pesantren, dan Ibnu Fikri M.Si., Ph.D., Syuriah PCI NU Belanda.
Dalam muqaddimahnya, Gus Muis menegaskan bahwa perbedaan merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Menurutnya, Indonesia adalah negara yang lahir dari keragaman sehingga mustahil menyeragamkan semua pemikiran.
“Dalam Islam ada banyak madzhab, tidak bisa semua orang dipaksa Syafi’iyah. Bahkan kalaupun semua Syafi’iyah, tetap saja orang tidak akan sama,” ujarnya.
Gus Muis kemudian mengulas tentang pemahaman “kafir” yang sering disalahartikan. Ia menilai, merusak tatanan bangsa dengan menganggap non-Muslim sebagai kafir adalah pandangan yang keliru. Lebih jauh, ia menyebut bahwa sifat pelit kepada tetangga, kesombongan karena harta, hingga menolak berbagi juga merupakan wujud kekafiran.
“Iblis disebut kafir karena kesombongannya, merasa lebih baik karena diciptakan dari api, sedangkan Adam dari tanah. Orang kaya yang sombong, orang fakir yang putus asa dan tak bersyukur, semua itu juga dekat dengan kekafiran,” tegasnya.
Sementara itu, Ibnu Fikri dalam paparannya menekankan bahwa kolonialisme dan imperialisme tidak bisa ditoleransi. Ia membagikan pengalamannya selama empat tahun tinggal di Belanda, di mana ia mendapati banyak peninggalan Nusantara yang justru tersimpan di negeri itu.

“Banyak furnitur, kayu-kayu, hingga karya ulama klasik Indonesia dibawa ke Belanda. Rempah-rempah dari Nusantara sangat berharga, satu karung goni bisa ditukar dengan sebuah kastil di sana. Bahkan karya-karya ulama klasik juga dibawa, salah satunya oleh orientalis Snouck Hurgronje,” jelasnya.
Menurut Ibnu Fikri, kolonialisme dilakukan Belanda bukan hanya untuk menguasai, tetapi juga sebagai cara bertahan hidup dengan memanfaatkan kekayaan Nusantara. Ia menarik benang merah dengan kondisi kekinian, bahwa jika rakyat Indonesia terus ditekan dengan pajak tinggi tanpa pemahaman memadai, maka praktik tersebut sejatinya mirip dengan kolonialisme.
Acara yang disiarkan secara live streaming ini berlangsung penuh antusiasme jamaah. Diskusi hangat dari kedua narasumber mempertegas pentingnya memahami sejarah, agama, dan kebangsaan secara lebih bijak agar masyarakat Indonesia terhindar dari sikap intoleran maupun praktik yang menindas rakyat sendiri.
