Tunggulsari, Kendal –Penolakan terhadap Izin Usaha Produksi (IUP) Galian C di Desa Tunggulsari, Kecamatan Brangsong, terus menggelora. Di tengah kemarahan warga atas pengkhianatan Kepala Desa, Ketua BPD, dan Ketua Karang Taruna yang diam-diam menyetujui tambang melalui surat susulan, tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) tampil memperkuat barisan perlawanan rakyat.
Salah satu tokoh sentral dalam perjuangan ini adalah M. Asror, akrab disapa SDM, Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU Kecamatan Brangsong sekaligus tokoh berpengaruh asal Tunggulsari. Ia hadir langsung dalam aksi damai warga pada Jumat (19/9/2025), berdiri tegak di tengah kerumunan sebagai wujud solidaritas moral dan ideologis NU terhadap perjuangan masyarakat.
Meski tidak menyampaikan orasi, kehadiran M. Asror menjadi simbol kuat bahwa NU tidak sekadar menyimak jeritan warga, melainkan turun langsung berdiri bersama mereka dalam menolak segala bentuk pengkhianatan dan ancaman terhadap masa depan desa.
“Kehadiran saya di sini adalah bentuk nyata bahwa NU berpihak kepada rakyat. Galian C bukan hanya ancaman fisik terhadap desa, tapi juga ancaman moral, spiritual, dan sosial bagi generasi ke depan. Maka saya katakan: NU tidak akan diam,” tegasnya dalam pernyataan terpisah usai aksi.
Dalam keterangannya, M. Asror menyampaikan tujuh alasan pokok penolakan terhadap Galian C, mulai dari aspek lingkungan hingga nilai-nilai agama dan sosial.
Tujuh Pokok Penolakan Tambang Versi M. Asror (SDM):
- Merusak Lingkungan Hidup
Aktivitas Galian C akan menghancurkan struktur tanah, mencemari sumber air, merusak pertanian, serta meningkatkan risiko banjir dan longsor.
“Desa ini hidup dari alam. Kalau alam rusak, bukan hanya ekonomi yang hancur, tapi warisan generasi pun ikut hilang,” ungkapnya. - Mengancam Keselamatan dan Ketentraman Warga
Penambangan mendatangkan truk-truk besar, debu, kebisingan, dan kerusakan jalan desa.
“Itu bukan suasana desa, itu suasana penderitaan. Jangan sebut tambang sebagai pembangunan jika yang dibangun hanya derita,” katanya. - Mengingkari Keputusan Musyawarah Desa
Musyawarah Desa (Musdes) pada Juni 2025 secara sah menolak tambang. Namun Kepala Desa bersama Ketua BPD dan Ketua Karang Taruna justru menyetujui lewat surat susulan.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi pengkhianatan terhadap kehendak rakyat.” - Mengkhianati Janji Politik Kepala Desa
Kepala Desa saat mencalonkan diri dengan tegas menolak tambang, namun setelah menjabat justru berubah sikap.
“Kalau janji pemimpin mudah diingkari, maka wibawa pemerintahan desa tinggal nama. Kita tidak butuh pemimpin yang lupa pada kata-katanya sendiri,” ucap M. Asror. - Bertentangan dengan Prinsip Maqashid Syari’ah
Dalam Islam, segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap kehidupan dan lingkungan harus ditolak.
“Tambang yang merusak alam dan mengancam nyawa adalah bentuk dharar yang tidak dapat ditoleransi. Menjaga bumi adalah bagian dari menjaga agama.” - Memecah Persatuan Sosial
Kebijakan tambang telah menimbulkan ketegangan di antara warga dan aparatur desa.
“Kalau konflik sosial terjadi karena tambang, maka tanggung jawab ada di tangan para pengambil keputusan, termasuk mereka yang memilih diam.” - Sarat Kepentingan dan Tidak Transparan
Surat susulan disahkan tanpa melibatkan warga dan menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan tersembunyi.
“Kalau niatnya baik, mengapa jalannya sembunyi-sembunyi? Ada apa di balik tanda tangan itu? Jangan-jangan desa dikorbankan demi keuntungan segelintir orang,” tegasnya.
Kehadiran M. Asror (SDM) yang mengenakan topi khasnya di tengah massa menunjukkan keberpihakan NU terhadap kebenaran dan kelestarian hidup masyarakat desa. Ia bukan hanya berdiri sebagai warga, tetapi sebagai wakil moral dan kultural umat.
“Ini bukan sekadar soal tambang. Ini soal harga diri dan masa depan. Jika desa dikhianati, maka santri, ulama, dan warga harus bersatu menjaganya. NU akan berdiri di depan, bukan di belakang,” pungkasnya.
