Kendal — Badan Usaha Milik Desa Bersama (Bumdesma) Kecamatan Brangsong menuai sorotan. Sejumlah pihak menilai pendirian dan perencanaan Bumdesma tersebut tidak dilakukan secara matang, bahkan terkesan terburu-buru tanpa kajian yang komprehensif. Akibatnya, potensi manfaat ekonomi justru dibayangi oleh risiko pemborosan dana desa.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa setiap desa di Kecamatan Brangsong diduga dimintai iuran antara Rp50 juta hingga Rp100 juta sebagai modal penyertaan untuk Bumdesma. Padahal, belum ada kejelasan menyangkut rencana usaha, kelayakan bisnis, mekanisme pengelolaan, hingga transparansi keuangan.
Salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya menyampaikan kekhawatirannya.
“Kalau perencanaan tidak jelas, lalu uang desa digunakan untuk usaha yang tidak pasti, ini sama saja membakar uang. Desa sudah susah payah menata keuangan, masa malah dibebani iuran tinggi tanpa kejelasan manfaatnya?” ujarnya.
Pakar tata kelola desa juga mengingatkan bahwa Bumdesma bukan sekadar formalitas kelembagaan, tetapi harus dilandasi oleh kajian potensi, analisis risiko, serta partisipasi aktif dari seluruh desa anggota. Jika tidak, keberadaannya justru berisiko menjadi beban, bukan solusi.
Hingga saat ini, belum ada penjelasan resmi dari pihak kecamatan maupun pengurus inisiator Bumdesma Brangsong mengenai rincian anggaran, model bisnis, atau skema pengelolaan keuntungan. Kondisi ini memunculkan spekulasi dan ketidakpercayaan dari masyarakat desa.
Masyarakat dan pemerintah desa diharapkan bisa lebih kritis dalam menyikapi pembentukan Bumdesma ini. Transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi aktif dari seluruh unsur masyarakat menjadi kunci agar Bumdesma tidak sekadar menjadi proyek sesaat, tetapi benar-benar bisa menjadi motor penggerak ekonomi desa yang berkelanjutan.
